Archive for the ‘Ushul Fiqh’ Category

PENGERTIAN HADITS

Menurut bahasa kata hadits memiliki arti :

1.      al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.[1]

2.      Qorib (yang dekat)
3.      Khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.[2] 

Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada hadits.[3]
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. 

KEDUDUKAN HADITS
Seluruh umat islam, baik yang ahli naqli ataupun yang ahli akal telah sepakat bahwa hadits merupakan dasar hukum islam, yang merupakan salah satu dari sumber hukum islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah al-Qur’an. Umat islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur’an. Dengan demikian, antara hadits dan al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.[4]
Abdul Wahab Khalaf berkata : tak seorang pun mengingkari bahwa paling tidak, ada tiga fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an bila di lihat hubungan antara keduanya, yaitu :
a.       Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan hukum-hukum yang dibawah oleh Al-Qur’an.
b.      Untuk menjelaskan dan memberi rincian pelaksanaan ajaran yang dibawah oleh Al-Qur’an yang hanya disebut secara global.
c.       Sunnah kadang-kadang berfungsi untuk menetapkan sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an.[5]
Menurut  Muhammad Ajjal Al-Khatib, bahwa Al-Quran dan hadits merupakan dua sumber hukum syariah islam yang tetap, yang orang muslim tidak mampu memahami syariat islam dengan tanpa kembali kepada dua sumber tersebut. Mujtahid dan orang dalam pun tidak diperbolehkan hanya mencakupkan diri dengan salah satu dari keduanya.[6]
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan salah satu sumber hukum islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an.
a.         Dalil Al-Quran
Firman Allah dalam surat Al-Hashr ayat 7 :
!!$tBur….ãNä39s?#uä ãAqߙ§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
“….Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
 sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya”.

dan firman Allah dalam surat Al-Maidah  ayat 92 :
(#qãè‹ÏÛr&ur ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# (#râ‘x‹÷n$#ur 4 bÎ*sù öNçGøŠ©9uqs? (#þqßJn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& 4’n?tã $uZÏ9qߙu‘ à÷»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÒËÈ  
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”

Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada rasul secara khusus dan terpisah, antara lain[7]:
1.      Q.S.An-Nissa ayat 65 dan 80
2.      Q.S.Ali Imran ayat 31
3.      Q.S.An-Nur ayat 56, 62, dan 63
4.      Q.S.Al-Araf ayat 158

Ayat-ayat di atas dapat ditarik gambaran bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah harus diiringi taat kepada rasul-Nya. Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwea ungkapan wajib taat kepada rasul dan larangan mendurhakainya.

b.         Dalil Hadits Rasulallah Saw.
Dalam salah satu pesan Rasulallah, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai sumber hukum atau pedoman hidup disamping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut[8]:
“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduannya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan sunah Rasul-Nya” (HR.Al-Hakim dari Abu Hurairah).

Hadits tersebut menunjukan bahwa nabi SAW diberi al-Qur’an dan sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang ada pada sunnah seperti mengambil pada al-quran. Masih banyak hadits yangmenegaskan tentang kewajiban mengikuti perintah dan tuntutan Rasulullah Saw.

c.         Kesepakatan Ulama (Ijma) 
Seluruh umat islam telah sepakat untuk menjadikan dan mengamalkan hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Swt. Disamping itu, penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, ketika keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum islam.

Banyak peristiwa menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum islam, antara lain : ketika Abu Bakar dibaiiat menjadi khalifah, ia pernah berkata : “ saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh rasulallah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.

Pembahasan tentang hadits sebagai dasar hukum syariat islam dilakukan secara luas dalam semua kitab ushuf fiqh dan dari semua mazhab, sedemikian pentingnya sampai al-Auzyi (157 H) menyatakan bahwa “Al-Quran lebih membutuhkan As-Sunnah dibanding dengan kebutuhan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an”.[9]

Menurut As-Saukani : singkatnya keberadaan sebagai hujjah (sumber hukum islam) serta wewenang dalam penetapan hukum sudah merupakan keharusan dalam agama, tak seorangpun berbeda paham tentangnya kecuali mereka yang tidak memiliki cukup ilmu dalam islam.

MACAM-MACAM HADITS
Macam-macam hadits dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.     Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi :
·        Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad Saw.
·        Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’.
·        Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi’in (penerus).
2.     Berdasarkan keutuhan rantai/ lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yaitu :
·        Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
·        Hadits Mursal yaitu bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah Saw.
·        Hadits Munqati’ yaitu bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
·        Hadits Mu’dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
·        Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1.
3.     Berdasarkan jumlah penutur.
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas :
·        Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu.
·        Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir
4.     Berdasarkan tingkat keaslian hadits.
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi :
·        Hadits shahih yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits.
·        Hadits hasan yakni bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
·        Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
·        Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.[10]

  




[1]Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu (Bairut: Libanon,  1992) h.26
[2]. Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi,  Jawahir al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul (Bairut: Libanon, 1992) h.24
[3].   Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al Hadits Ulumuhu,h.27
[4].  Agus Solahudin dan Agus Suyadi,Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h.73
[5].  Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Mendia Pratama, 1999) h.76
[6].  Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, h.35
[7].  Ibid; h.75
[8].  Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: PT. Garfindo Persada, 1993) h.46
[9].   Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW (Bandung: Kharisma,1993) h.46