SEJARAH FILOLOGI

Posted: Juni 14, 2013 in Sejarah Islam
Tag:,

 

Filologi Di Kawasan Asia : India

 

Semenjak bangsa-bangsa di kawasan Asia yang telah memiliki beradaban tinggi itu mengenal suatu huruf, sebagian besar dari kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah, suatu jenis dokumen yang memberi informasi yang banyak mengenai kehidupan pada masa yang lampau. Sehingga terbentuklah Studi filologi terhadap naskah-naskah yang berhasil membuka khazanah kebudayaan Asia serta telah menyajikan isi naskah-naskah tersebut untuk kepentingan studi humaniora di Asia pada umumnya sehingga dapat menjelaskan sejarah Asia serta kebudayaannya dan membuka hubungan Asia dengan kawasan di luar Asia akan arus budaya yang pernah berhubungan dengan kebudayaan Asia.

Di antara bangsa Asia yang memeliki cukup dokumen masa lampau adalah bangsa India. Kontak langsung dengan bangsa Yunani yang juga memiliki kebudayan tinggi terjadi pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang  mengandakan perjalanan sampai ke India pada abad ke-3 SM. Kebudayaan yang ada di India banyak dipengaruhi oleh budaya Yunani ini dibuktikan dengan adanya seni patung Budha yang ditemukan di daerah Gandhara dipahat seperti patung Apollo yang memakai jubah tebal.

 Pada abad ke-1, mulailah terjadi kontak antara bangsa India dengan Cina. Pada abad itu, sekelompok pendeta Budha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina, sebaliknya ada beberapa musafir Cina mengadakan perjalanan ziarah ketempat-tempat suci agama Budha di India. Di dalam sejarah tercatat ada tiga orang yaitu Fa-hiang yang berkunjung ke India pada tahun 399, Hiuen-tsing pada tahun 630-644, dan I-tsing pada tahun 671-695. Mereka telah menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina, bahkan I-tsing menulis ringkasan 8 bab ilmu kedokteran India ke dalam bahasa Cina.

Berdasarkan telaah filologi mengemukakan bahwa kontak antara bangsa India dengan Persi terjadi paling awal pada abad ke-6, yaitu disalinnya karya sastra Pancatantra yang digubah pada abad ke-3 di India oleh seorang Waisynawa dan diterjemahkan kedalam bahasa Persi oleh Burzue atas perintah Kaisar Anusyirwan dari dinasti Sasaniah (531-579).  

 

Naskah-Naskah India

Naskah India yang paling tua adalah kesastraan Weda, ialah kitab suci agama Hindu, yang mengandung 4 bagian : Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atarwaweda, yang diperkirakan disusun pada abad ke-6 SM, isi dari kitab ini yaitu tentang kepercayaan kepada dewa, penyembahan secara ritual, mantra-mantra yang mengiringi upacara agama Hindu, dan ilmu sihir. Naskah lain dari kesustraan India yaitu kitab suci Brahmana yang berisi mengenai penciptaan dunia dan isinya, cerita para dewa, serta cerita mengenai persajian. Kitab Aranyaka yang berisi petunjuk bagi petapa yang menjalani kehidupan dalam hutan-hutan. Kitab Upanisad berisi masalah filsafat yang memikirkan rahasia dunia. Di samping itu terdapat pula naskah yang bersifat wiracerita seperti Mahabarata dan Ramayana, dan kitab-kitab lain seperti Harsacarita, Buddhacarita, Pancatatra, Sukasaptati, Hitopadesa serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, tatabahasa, hukum, dan politik.

 

Telaah Filologi Terhadap Naskah-Naskah India

Naskah-naskah India yang berbagai aspek kebudayaan, baru ditelaah semenjak datangnya bangsa Barat di kawasan itu yaitu setelah ditemukannya jalan laut ke India oleh Vasco da Gama pada tahun 1498. Mereka menemukan kebudayaan India, sebagai hasil telaahnya terhadap naskah-naskah India. Mula-mula mereka mengetahui adanya bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Gujarati, bahasa Bengalia sebelum abad ke-19, baru pada awal abad ke-19 barulah mengetahui tentang bahasa Sansekerta, dan pada akhir abad ke-19 barulah ditemukan kitab-kitab Weda. Hasil kajian filologi terhadap naskah-naskah itu mulai dipublikasikan Abraham Roger dari Belanda melalui karangannya yang berjudul Open Door to Hidden Heatthendom pada tahun 1651. Tata bahasa Sansekerta mula-mula ditulis oleh Hanxleden seorang pendeta berkebangsaan Jerman, dalam bahasa Latin. Karangan ini dipublikasikan di Roma oleh penginjil berkebangsaan Austria bernama Fra Paolo Bartolomeo pada tahun 1790.

Pada abad ke-18, Gubernur Jenderal Warren Hasting s dari Inggris mempunyai hasrat untuk menyusun kitab hukum berdasarkan hukum yang ditulis dalam naskah-naskah lama bangsa India.  Hukum dalam naskah-naskah itu digalinya kemudian diterbitkan pada tahun 1776 di London. Pada tahun 1784, sebuah kegiatan filologi bernama The Asiatic Society didirikan di Bengal oleh para orientalis Inggris yang saat itu bekerja di India.

Pada abad ke-19, dikenal nama Alexander Hamilton (Inggris) dan Friedrich Schlegel (Jerman) yang dipandang sebagai ahli yang memajukan studi naskah-naskah Sansekerta di Eropa. Friedrich menulis sebuah buku yang berjudul On the Language and Wisdom of the Indian pada tahun 1808. Sampai pada pertengahan abad ke-19 telah banyak dilakukan telaah terhadap karya sastra klasik India. Dengan telaah yang dilakukan terhadap kesustraan India dari segi materinya telah dipandang lengkap.

 

 

Filologi di Kawasan Nusantara

Nusantara merupakan kawasan yang memiliki peradaban tinggi dan diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai media, antara lain media tulisan yang berupa naskah-naskah. Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak kelompok etnis yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa meninggalkan kekhasan kebudayaan Nusantara. Naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan hadirnya bangsa Barat di kawasan ini pada abad ke-16. Pertama-tama yang mengetahui naskah-naskah lama itu adalah para pedagang. Mereka menilai naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendatangkan untung yang besar sehingga mereka mengumpulkan naskah-naskah itu dari perorangan atau dari tempat-tempat koleksi, seperti pesantren atau kuil-kuil, kemudian mereka membawanya ke Eropa, kemudian menjualnya kepada perorangan ataupun kepada lembaga-lembaga yang mengoleksi naskah-naskah lama. Seorang yang dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Peter Willemz. Van Elbinck yang pernah tinggal di Aceh pada tahun 1604 mempunyai sebuah naskah kemudian menjualnya kepada Thomas Erpenius. Nama lain yang dikenal menerima naskah-naskah Nusantara dari para pedagang yaitu Edward Picocke yang memiliki naskah Hikayat Sri Rama tertua.

Pada tahun 1629, 33 tahun setelah tibanya kapal Belanda pertama di kepulauan Nusantara, terbitlah terjemahan Alkitab yang pertama dalam bahasa Melayu. Dr.Melchior Leijdecker (1645-1701), yaitu seorang penginjil yang menaruh minat terhadap naskah-naskah Melayu menerjemahkan Beibel kedalam bahasa Melayu. Penginjil lain yang dikenal akrab dengan bahasa dan kesastraan Melayu adalah G.H.Werndly, yang mengarang buku berjudul Maleische Spraakkunst (1736), di dalam lampirannya diberi nama “Malaische Boekzaal” dia menysun daftar naskah-naskah Melayu yang dikenalnya sebanyak 69 naskah.

Kajian terhadap naskah-naskah filologi Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisisnya, atau untuk kedua-duanya. Inilah kegiatan awal dari kehadiran tenaga penginjil yang dikirim oleh NBG ke Indonesia. Pada tahap awalnya kajian itu terutama untuk tujuan penyuntingan akan tetapi tenaga masih terbatas sehingga kegiatan itu diarahkan untuk naskah Jawa dan Melayu. Hasil suntingan pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf aslinya, ialah huruf Jawa, huruf pegon atau huruf Jawi, dengan disertai pengantar atau pendahuluan yang sangat singkat, tanpa analisis isinya, misalnya suntingan Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900), dan Syair Bidasari oleh Hoevell (1843).

Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk translasi dalam bentuk huruf Latin, misalnya Wrettasantjaja (1849), Ardjoena Wiwaha (1850), dan Bomakawya (1850).

Dalam perkembangan selanjutnya suntingan naskah sudah disertai dengan terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, misalnya Sang Hyang Kamahayanikan, Oud-Javaansche tekst met inleiding, vertaling en aanteekeningen oleh J. Kats (1910). Suntingan naskah pada abad ke-20 umumnya disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris atau Belanda, bahkan ada yang diterbitkan hanya terjemahannya, misalnya Sejarah Melayu oleh Leyden (1821).

Pada pertenganhan abad ke-20, suntingan naskah dengan kritik teks banyak dilakukan sehingga menghasilkan suntingan yang lebih mantap daripada suntingan sebelumnya. Terbitan jenis ini banyak disertai terjemahan dalam bahasa Inggris, Belanda, atau Jerman. Contoh naskah dalam perkembangan ini seperti Het Boek der Duizend Vragen oleh G.F. Pijper (1924) berdasarkan naskah Hikayat Seribu Masalah, Shair Ken Tambunan oleh Teeuw (1966), Hikayat Merong Mahawangsa oleh Siti Hawa Soleh (1970), Arjuna-wiwaha oleh S. Supomo (1977). Pada abad ini pula muncul terbitan ulangan dari naskah yang pernah disunting sebelumnya dengan maksud untuk menyempurnakan, misalnya terbitan sebuah Primbon Jawa dari abad ke-16. Pertama, dikerjakan oleh Gunning (1881) dengan metode diplomatik, kemudian pada tahun 1921 disunting lagi oleh H. Kraemer dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw, dan kemudian pada tahun 1954 diterbitkan lagi oleh C.W.J. Drewes dengan judul yang sama.

Selanjutnya banyak diterbitkan naskah keagamaan, baik naskah Melayu maupun naskah Jawa sehingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli teologi dan dapat menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Adapula yang mengkaji naskah-naskah sejarah oleh para ahli sejarah seperti suntingan yang dikerjakan oleh Teuku Iskandar berjudul De Hikajat Atjeh (1959) berdasarkan naskah Hikayat Aceh.

Pada periode mutakhir, mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu Barat, misalnya analisis struktur dan amanat terhadap naskah Hikayat Sri Rama dikerjakan oleh Achadiati Ikram berjudul Hikayat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980).

Dengan telah dikenalinya dan tersedianya suntingan sejumlah naskah-naskah Nusantara maka terbukalah kemungkinan menyusun sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah. Sehingga mendorong berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu, terutama disiplin humaniora dan disiplin ilmu-ilmu sosial. 

Tinggalkan komentar