Archive for the ‘Filologi’ Category

SEJARAH AKSARA NUSANTARA

Posted: Juni 5, 2013 in Filologi
          Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke IV.
Setidaknya sejak abad ke IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskerta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh abjad Arab dan alfabet Latin.
Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Aksara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab, sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó’o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga.
Ada pendapat sebelum hadir abjad Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantarahadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buddha) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais (1951-55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran India Selatan atau aliran India Utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India Selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung Muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskerta, ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-lettersconch-shell-script atau aksara sangkha.
Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namun hampir di setiap wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (Malayu Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali Kuno).

Perubahan Aksara Pallawa (kolom paling kiri) menjadi sejumlah aksara Nusantara. Kolom kedelapan adalah Aksara Jawa Baru (Hanacaraka), kolom kesembilan adalah Aksara Bali, dan kolom paling kanan adalah Aksara Bugis (Lontara).

Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru).
Silsilah Aksara Nusantara

Periodisasi Aksara Nusantara
1.     Zaman Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sanskerta atau bahasa daerah yang sangat berpengaruh.
·       Aksara Pallawa
·       Aksara Nagari
·       Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
·       Aksara Buda
·       Aksara Sunda Kuna
·       Aksara Proto-Sumatera
2.     Zaman Kerajaan-Kerajaan Islam
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah (misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem vokal Abjad Arab yang hanya mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci dan Aksara Buhid).
·       Aksara Batak (Surat Batak)
·       Aksara Rejang
·       Aksara Kerinci (Surat Incung)
·       Aksara Lampung (Had Lappung)
·       Aksara Jawa (Aksara Jawa Baru/Hanacaraka)
·       Aksara Bali
·       Aksara Lontara
·       Aksara Baybayin (Aksara Tagalog)
·       Aksara Tagbanwa
·       Aksara Buhid
·       Aksara Hanunó’o
·       Aksara Kapampangan
·       Aksara Eskaya
3.     Zaman Modern
Aksara daerah yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak terdapat dalam bahasa daerah.
·       Aksara Sunda Baku
Variasi
Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad Arabyang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.

Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain :

·       Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna) 
  •             Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai KayuwangiRaja Mataram (855 – 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah.
  •            Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
  •            Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.

·       Variasi Aksara Batak
  •           Aksara Toba : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.
  •       Aksara Karo : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.
  •       Aksara Dairi  : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
  •       Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.
  •       Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.

·       Variasi Aksara Lampung/Ulu
  •         Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah
  •         Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai
  •         Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
  •         Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang


·       Variasi Aksara Jawa
  •         Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.
  •         Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.
  •         Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.
  •         Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.
  •         Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.


·       Variasi Aksara Bali
  •         Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali.
  •         Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno.
  •         Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.


·       Variasi Aksara Lontara
  •         Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.
  •          Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk tersendiri untuk menuliskan Bahasa Bugis.
  •         Aksara Lota Ende : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Ende.
  •         Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar
  •         Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.
  •         Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Luwu.
  •         Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bima.

Aksara Lain yang Digunakan di Nusantara 
– Abjad Arab
– Aksara Jawi untuk Bahasa Melayu 
– Aksara Pegon untuk Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda
– Alfabet Latin 
– Ejaan Van Ophuijsen
– Ejaan Soewandi
– EYD
– Hanzi

NASKAH DAN TEKS FILOLOGI

Posted: Juni 3, 2013 in Filologi

Naskah
Naskah adalah karangan yang masih ditulis tangan. Pengertian lain tentang naskah, yaitu naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya suatu bangsa masa lampau.
Sasaran kerja filologi adalah naskah kuno yang di dalamnya tersimpan ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau. Kata ‘naskah’ berasal dari berasal dari bahasa Arab  نسخةyang berarti tulisan tangan. Dalam kata latin disebut ‘manuscript’, atau disebut juga ‘kodeks’(). Naskah dalam kajian filologi merupakan bentuk konkret suatu tulisan yang dapat dilihat dan dipegang.
Istilah Naskah-Teks di luar konteks Filologi
Dalam pemakaian sehari-hari, di luar konteks filologi, naskah merupakan kopi atau teks bersih yang ditulis pengarangnya sendiri, misalnya naskah disertasi atau naskah makalah. Naskah tidak lagi bermkna tulisan tangan. Disamping itu, istilah naskah dan teks dalam kehidupan sehari-hari juga dipakai dengan pengertian yang sama; misalnya, naskah pidato atau teks pidato.
Teks
Teks dapat diartikan sebagai kandungan atau muatan naskah. Jika naskah merupakan bentuk konkret suatu tulisan, maka teks adalah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Teks sendiri terdiri dari 2 unsur yaitu isi dan bentuk. Di dalam isi, memuat ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Sedangkan bentuk, yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Ada tiga macam teks menurut Lichaev(1917), seorang peneliti Rusia, yaitu:
1.       Teks lisan yang pada tradisi sastra rakyat disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut.
2.       Teks naskah tulisan tangan dengan huruf daerah.
3.       Teks cetakan yang sudah mulai dikenal setelah seni cetk ditemukan.

Sejarah Perkembangan Filologi

Posted: Mei 13, 2013 in Filologi

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI

Kebudayaan Yunani lama merupakan salah satu dasar pemikiran yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada umumnya. Dalam segala bidang kehidupan, dirasakan unsur-unsur yang berakar pada kebudayaan Yunani lama, yang aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah-naskah milik bangsa itu. Diantara cabang ilmu yang mampu membuka aspek-aspek tersebut adalah filologi. Maka ilmu filologi Yunani lama merupakan ilmu yang penting untuk menyajikan kebudayaan Yunani lama, yang hingga abad ini tetap berperan dalam memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala ilmu pengetahuan. Kebudayaan Yunani lama tidak hanya berpengaruh di dunia Barat, akan tetapi berpengaruh juga di bagian dunia yang lain, seperti kawasan Timur Tengah, Asia dan Asia Tenggara serta kawasan Nusantara.
Semenjak kecil masyarakat Barat dibiasakan dengan nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas Athena, Zeus, Hera dan lain-lain. Memang para dewa dan pahlawan dalam legenda Yunani kuno itu merupakan sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang Bara, seperti Jawa. Para penulis Barat acap kali mengutip miologi Yunani kuno apabila mereka memerlukan perumpamaan yang bisa lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para sarjana dan ilmuwan menggunakan peristilahan yang digunakan pada legenda Yunani kuno, seperti “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti ilmu filsafat, matematika, fisika banyak dinukil pendapat para ilmuwan Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Karena itu jelas sekali bahwa mereka yang ingin mengetahui secara lebih mendalam aspek-aspek tertentu dari masyarakat Barat. Ilmu filologi pun juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.
1. Awal Kegiatan Filologi di Iskandariyah Abad ke-3 SM
Awal kegiatan ini dilakukan oleh bangsa Yunani, bangsa ini berhasil membaca naskah-naskah Yunani lama, yang mulai ditulis pada abad ke-8 SM dalam huruf Yunani kuno. Huruf ini berasal dari huruf bangsa Funisia. Naskah-naskah itu ditulis pada daun papirus dan merekam tradisi lisan yag mereka miliki berabad-abad sebelumnya. Mulai abad ke-8 sampai abad ke-3 SM naskah itu berkali-kali disalin, maka wajarlah kalau mengalami perubahan dari bentuk aslinya.
Di kota Iskandariyah pada abad ke-3 SM terdapat pusat ilmu pengetahuan, karena di tempat itu banyak dilakukan telaah naskah-naskah lama oleh para ahli yang bekerja di tempat tersebut. Mereka berasal dari daerah sekitar Laut Tengah, terutama bangsa Yunani sendiri dari daratan Eropa Selatan. Pusat studi itu, seperti perpustakaan yang menyimpan sejumlah besar naskah, berupa papirus yang bergulung, yang berisi berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu filsafat, kedokteran, perbintangan ilmu sastra dan karya sastra, ilmu hukum dan lain sebagainya milik bangsa Yunani lama. Perpustakaan itu menempati bangunan yang pada waktu itu yang dinamakan museum, aslinya sebuah kuil untuk memuja 9 orang dewi muses, dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam Mitologi Yunani. Para penggarap naskah-naskah ini kemudian dikenal dengan ahli filologi dan yang pertama-tama memakai nama itu ialah Eratosthenes. Dan kemudian metode yang mereka gunakan untuk menelaah naskah-naskah itu kemudian dikenal dengan ilmu filologi. Yang kemudian berkembang dari abad ke abad di berbagai negara, oleh berbagai bangsa, hingga waktu ini. Metode awal itu dilakukan demikian : pertama-tama mereka memperbaiki huruf dan bacaan, ejaan, bahasanya, tatatulisnya, kemudian menyuntingnya dalam keadaan yang mudah dibaca. 
Para ahli filologi pada waktu itu benar-benar memilki ilmu yang luas, karena untuk memahami isi naskah itu orang harus mengenal hurufnya, bahasanya dan ilmu yang dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka lalu menulisnya kembali dalam huruf yang digunakan pada waktu itu dan bahasa yang dipakai waktu itu juga. Sehingga kebudayaan Yunani lama yang memiliki nilai luhur itu dapat dikenal oleh masyarakat pada waktu itu.             
Di samping untu tujuan penggalihan ilmu pengetahuan Yunani lama, kegiatan filologi juga sebagai kegiatan perdagangan. Untuk tujuan ini penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh para budak belian, yang pada waktu itu masih banyak dan mudah dikerahkan. Dengan cara demikian mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan dari bahan yang disalin, karena penyalin tidak memiliki kesadaran terhadap nilai keotentikan naskah lama. Hasil penyalinan ini kemudian diperdagangkan di sekitar Laut Tengah. Salin-menyalin naskah dengan tangan mudah menimbulkan bacaan yang rusak atau korup (corrupt), karena ketidaksengajaan atau karena penyalin bukan ahli dalam ilmu yang ditulis dalam naskah tersebut, atau mungkin juga karena keteledoran penyalin. Kegiatan filologi di Iskandariyah makin ramai, makin banyak yang berminat dalam bidang ini sampai jatuhnya daerah Iskandariyah ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Seperti telah dikemukakan di atas, bentuk naskah dengan bahan papirus itu gulungan. Namun tidak efisien karena memerlukan tempat yang luas, kurang mudah untuk melihat-lihat kembali bagian yang telah dibaca. Penulisan naskah dengan bentuk gulungan ini tidak memberi nomor halaman seperti dalam naskah berbentuk buku atau codex.
Isinya adalah rekaman tradisi lisan mereka pada abad-abad sebelumnya. Bahan yang diteliti antara lain karya sastra Homerus, dan ilmu pengetahuan yang hingga saat ini tetap memiliki nilai agung seperti tulisan Socrates dan Aristoteles.
Sesudah Iskandariyah jatuh ke dalam kekuasaan Romawi. Kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatanberpusat di kota Roma. Perkembangan ini berkelanjutan hingga pecahnya kerajaan Romawi pada abad ke-4 menjadi kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur. Peristiwa itu mempengaruhi perkembangan filologi selanjutnya.                                  
2. Filologi di Kerajaan Romawi Barat
Kegiatan filologi mengikuti kegiatan filologi Yunani abad ke-3 s.M. Penggarapan naskah dalam bahasa Latin yang sudah digarap secara filologis sejak abad ke-3 s.M. Bentuk naskah latin itu berupa puisi dan prosa yang banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-abad selanjutnya. Tradisi ini dikembangkan di kerajaan Romawi Barat, dan bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadi Kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi digunakan untuk kepentingan agama, dan naskah-naskah Yunani kuna ditinggalkan karena dianggap jahiliah. Sejak abad ke-4, mulai digunakan codex (bentuk buku) menggunakan bahan kulit binatang yang lebih awet dari pada papirus, dan lebih mudah dibaca karena telah dilengkapi dengan nomor halaman. Pada waktu telaah teks Yunani di Romawi Barat tampak mundur, tampak mulai bermunculan pusat-pusat teks Yunani di Romawi Timur. Masing-masing kota menjadi pusat studi dalam bidang tertentu yang selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi dan menghasilkan tenaga ahli dalam bidang masing-masing. Pada masa ini, mulai muncul kebiasaan menulis tafsir di tepi sebuah naskah, yang disebut scholia. Meskipun begitu, Romawi Timur dianggap kurang ahli dalam menelaah teks-teks Yunani lama. Hal ini melatar belakangi diadakannya kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.
3. Filologi di Kerajaan Romawi Timur
Pada waktu telaah tekas Yunani tampak mundur  di Romawi Barat, maka di Romawi Timur mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani, misalnya di Antioch, Athena, Iskandariyah, Beirut, Konstantinopel dan Gaza, yang masing merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandriyah menjadi pusat studi bidang filsafat Aristoteles. Beirut pada bidang hukum. Pusat-pusat sudi ini selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, ialah lembaga yang menghasilkan tenaga ahli dalam bidang pemerintah, pendidikan dan administrasi.
Dalam periode ini muncul kebiasaan menulis tafsir terhadap isi naskah pada tepi halaman. Catatan demikian itu disebut scholia. Procopius dari Gaza telah membiasakan menulis naskah langsung diiringi scholia dengan bahan yang diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena tulisan Procopius pada umumnya mengenai ajaran Befbel maka ajaran penulisan demikian itu dikenal penulisan baru dalam kajian Befbel.
Pada saat telaah teks Yunani berkembang di Romawi Timur di rasakan kurangnya ahli yang melakukan kegiatan itu. Untuk mendapatkan tenaga-tenaga filologi, naskah yang dipandang penting diajarkan di perguruan tinggi. Maka muncullah mimbar-mimbar kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.
4. Filologi di Zaman Renaisans
Menyebarnya era Renaisans di Eropa pada abad ke-13 hingga ke-16 menyebabkan munculnya kecenderungan pada aliran humanisme. Kata asal ‘humanisme’ dari ‘humaniora’ (kata Yunani) atau ‘amunista’ (kata Latin), yang semula berarti guru yang mengelola tatabahasa, retorika, puisi, dan filsafat. Karena bahan yang diperlukan berasal dari teks klasik, terjadi pergeseran arti menjadi aliran yang mempelajari sastra klasik untk menggali kandungan isinya. Maka, kegiatan telaah teks lama timbul kembali. Ketika kekuasaan Romawi Timur (Bizantium) jatuh ke tangan bangsa Turki pada abad ke-15, ahli filologi berpindah ke Eropa Selatan, terutama Roma. Di sana mereka menjadi pengajar, penyalin naskah, atau penerjemah teks Yunani dalam bahasa Latin.
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-15 juga mempengaruhi perkembangan filologi. Kemudahan menyalin naskah dan kebutuhan naskah yang semakin meningkat dari perguruan tinggi meningkatkan perkembangan filologi. Filologi juga digunakan untuk kepentingan telaah ilmu agama. Dalam perkembangannya, filologi sempat digunakan untuk mengkaji naskah nonklasik. Hasilnya, pengertian filologi menjadi kabur dengan ilmu bahasa. Mulai abad ke-19 ilmu bahasa itu berdiri sendiri, menjadi Linguistik, dan Filologi mendapat pengertian aslinya kembali.
5. Perkembangan Filologi di Timur Tengah
Bangsa Yunani lama telah sejak lama menanamkan kebudayaannya hingga di kawasan Timur Tengah. Ide filsafati dan ilmu eksakta daerah Timur Tengah terutama didapat dari bangsa Yunani lama. Perguruan tinggi sebagai pusat berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Dalam perkembangan sejarahnya, puncak perkembangan ilmu pengetahuan Yunani di kawasan Timur Tengah yaitu pada zaman dinasti Abasiyah. Pada masa kepemimpinan Makmun (809-833) perkembangan itu mencapai puncaknya. Diistananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain yang mempelajari berbagai disiplin ilmu dan diberi fasilitas yang baik. Dikenal ada tiga penerjemah handal pada saat itu. Salah satunya adalah Hunain yang melakukan banyak hal dengan mendata naskah-naskah yang diterjemahkan maupun yang belum diterjemahkan, dan tempat penyimpanannya secara lengkap. Ia juga melakukan kritik teks yang tajam dengan jangkauan naskah sebanyak mungkin. Berkatnya dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada saat itu. Kegiatan filologi juga diterapkan pada naskah-naskah yang dihasilkan penulis dari daerah itu. Timur Tengah dikenal memiliki dokumen lama berisi nilai-nilai agung. Sebelum kedatangan Islam, Timur Tengah telah memiliki karya sastra yang mengagumkan. Setelah kedatangan Islam pun karya sastra mistik Islam berkembang maju. Kedatangan bangsa Barat di kawasan ini menyebabkan karya sastra mereka dikenal dunia Barat. Meluasnya kekuasaan dinasti Umayah ke Spanyol dan Andalusia membawa ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali ke Eropa dengan baju Islam. Hingga Bahasa Arab dipelajari sebagai alat untuk mempelajari naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa tersebut. Terdapat pusat studi ketimuran di berbagai tempat di Eropa yang menghasilkan ahli-ahli dalam mengkaji naskah-naskah Timur Tengah.
6. Filologi Dinasti Abbasiyah dan Masa Keemasan Islam
Pada zaman dinasti Abbasiyah, dalam pemerintahan khalifah Mansur (754-775), Harun Alrasyid (786-809), dan Makmun (809-833) studi naskah dan ilmu pengetahuan Yunani makin berkembang dan puncak perkembangannya itudalam pemerintahan Makmun. Di dalam istananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain: mereka beljr ilmu geometri, astronomi, teknik dan musik. Mereka mendapat pelayanan yang baik, dibangunkan pusat studi yan diberi nama Bait al-Hikmah (Lembaga Kebijaksanaan), yang dilengkapi dengan perpustakaan dan observatorium. Pada waktu itu dikenal tiga penerjemah kenamaan, bernama Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Hubaisyi, ketiga-tiganya beragama Nasrani. Hunain merupakan penerjemah yang paling luas ilmu pengetahuannya, menguasai bahasa Arab, Yunani, Persia: bahasa ibunya sendiri bahasa Arab. Sejak umur 7 tahun dia sudah menjadi penerjemah kedalam bahasa-bahasa tersebut. Mungkin ketrampilannya diperoleh karena dia tinggal di daerah multilingual. Dia mendirikan lembaga penerjemah di Bagdad, akan tetapi tidak jelas apakah kegiatan penerjemahanitu dari naskah-naskah Yunani atau dari terjemahannya dalam bahasa siria. Di waktu itu masih banyak tersimapan di daerahnya naskah-naskah Yunani dan Hunain sendiri rajin mencari naskah-naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria, Palestina dan Mesopotamia. Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab , disertai nama para penerjemahnya dan untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Disamping itu Hunain juga menyertaka kritik Hunain terhadap hasil terjemahan orang lain sangat tajam. Dengan demikian dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada waktu abad ke-9 di kawasan Timur Tengah. Di samping melakukan telaah terhadap naskah-naskah Yunani, para ahli filologi di kawasan Timur Tengah juga menerapkan teori filologi terhadapnaskah-naskah yang dihasilkan oleh penulis-penulis dari daerah itu.
7. Perkembangan Filologi Zaman Dinasti Abbasiyah dan Pasca Keruntuhannya
Bangsa-bangsa di Timur Tengah memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama yang berisi nilai-nilai yang agung, seperti karya tulis yang di hasilkan oleh bangsa Arab dan Persia. Sebelum kedatangan agama Islam, kedua bangsa ini telah memiliki karya sastra yang mengagumkan, dlam bentuk prosa dan puisi misalnya Mu’allaqat dan Qasidah pada bangsa Arab. Setelah Islam berkembang, kegiatan meluas di kawasan di luar negara Arab , serta mistik Islam berkembang dengan maju di daerah Persia pada abad ke-10 hingga abad ke-13. Karya sastra mistik yang masyhur misal Mantiq al-Tair susunan Farid al-Din Al-Tar, Mathnawi ima’nawi karya Jalal al-Din al-Rumi, Tarjuman al-Asywaqtulisan Ibn al-Arabi. Puisi-puisi penyair Persia terkenal Umar Khayyam serta cerita Seribu Satu Malam hingga saat ini masih banyak dikenal di dunia Barat dan berkali-kali diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Barat dan bahasa-bahasa Timur.
Kedatangan bangsa Barat di kawasan Timur Tengah membuka kegiatan filologi terhadap karya tersebut, sehingga isi kndungan naskah-naskah itu dikenal di dunia Barat dan banyak yang menarik perhatian orientalis Barat. Maka banyaklah teks yang diteliti oleh mereka serta kemudian banyaklah naskah yang mengalir ke pusat-pusat studi dan koleksi naskah di Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah tersebut banyak dilakukan di pusat-pusat kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasil kajian itu berupa teori-teori mengenai kebudayaan dan sastra Arab, Persi, Siria, Turki dan lain sebagainya.      
8. Filologi di Kawasan Asia : India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa Asia telah memiliki peradaban yang tinggi. Sejak mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah yang member banyak informasi mengenai kehidupan mereka di masa lampau. Diantara bangsa Asia yang dipandang memiliki dokumen masa lampau adalah India. Penelitian terhadap India menunjukkan adanya kontak secara langsung dengan Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang melakukan perjalanan sampai India pada abad ke-3. Terlihat adanya perpaduan dengan kebudayaan Yunani pada bentuk patung dan nilai-nilai ilmunya. Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak langsung bangsa India dengan Cina. Sekelompok pendeta Buddha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina, dan sesudah itu musafir Cina berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Dalam perjalanan itu, mereka sempat menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina. Bahkan ada ringkasan delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina. Kontak antara bangsa India dengan Timur Tengah mungkin terjadi sejak awal sebelum bertemu dengan bangsa lain. Kemungkinan ini sangat kuat mengingat letak geografis kedua kebudayaan besar ini berdekatan tanpa terbatas kondisi alam tertentu. Sayangnya belum didapati keterangan yang memadai dari sedikit dokumen yang menunjukkan kontak antara keduanya. Hanya terdapat terjemahan naskah India ke dalam bahasa Persi dan catatan musafir Arab-Persi mengenai beberapa aspek kebudayaan India dalam kunjungannya ke tempat tersebut. Naskah India yang dipandang paling tua berupa kesusastraan Weda, ialah kitab suci agama Hindu yang disusun mungkin pada abad ke-6 s.M. Setelah periode Weda disusunlah naskah-naskah kitab suci lain. Selain naskah dengan nilai agama dan filsafat, ada uga naskah lama India yang berisi wiracarita misalnya Mahabarata dan Ramayana serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, tatabahasa, hukum, dan politik. Telaah Filologi terhadap naskah-naskah India baru dilakukan setelah adanya kontak dengan bangsa Barat, yaitu setelah ditemukannya jalan laut ke India. Proses mengenal kubudayaan India bertahap, mulai dari bahasa daerah, bahasa Sansekerta, baru kemudian ditemukan kitab Weda. Sejak itu lah kegiatan filologi terhadap naskah India semakin berkembang dan membuahkan hasil yang sangat berarti seperti berbagai kamus dan tatabahasa Sansekerta .
9. Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara merupakan kawasan yang memiliki peradaban tinggi dan diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai media, antara lain media tulisan yang berupa naskah-naskah. Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak kelompok etnis yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa meninggalkan kekhasan kebudayaan Nusantara. Naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan hadirnya bangsa Barat di kawasan ini pada abad ke-16. Pertama-tama yang mengetahui naskah-naskah lama itu adalah para pedagang. Mereka menilai naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendatangkan untung yang besar sehingga mereka mengumpulkan naskah-naskah itu dari perorangan atau dari tempat-tempat koleksi, seperti pesantren atau kuil-kuil, kemudian mereka membawanya ke Eropa, kemudian menjualnya kepada perorangan ataupun kepada lembaga-lembaga yang mengoleksi naskah-naskah lama. Seorang yang dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Peter Willemz. Van Elbinck yang pernah tinggal di Aceh pada tahun 1604 mempunyai sebuah naskah kemudian menjualnya kepada Thomas Erpenius. Nama lain yang dikenal menerima naskah-naskah Nusantara dari para pedagang yaitu Edward Picocke yang memiliki naskah Hikayat Sri Rama tertua.
Pada tahun 1629, 33 tahun setelah tibanya kapal Belanda pertama di kepulauan Nusantara, terbitlah terjemahan Alkitab yang pertama dalam bahasa Melayu. Dr.Melchior Leijdecker (1645-1701), yaitu seorang penginjil yang menaruh minat terhadap naskah-naskah Melayu menerjemahkan Beibel kedalam bahasa Melayu. Penginjil lain yang dikenal akrab dengan bahasa dan kesastraan Melayu adalah G.H.Werndly, yang mengarang buku berjudul Maleische Spraakkunst (1736), di dalam lampirannya diberi nama “Malaische Boekzaal” dia menysun daftar naskah-naskah Melayu yang dikenalnya sebanyak 69 naskah.
Kajian terhadap naskah-naskah filologi Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisisnya, atau untuk kedua-duanya. Inilah kegiatan awal dari kehadiran tenaga penginjil yang dikirim oleh NBG ke Indonesia. Pada tahap awalnya kajian itu terutama untuk tujuan penyuntingan akan tetapi tenaga masih terbatas sehingga kegiatan itu diarahkan untuk naskah Jawa dan Melayu. Hasil suntingan pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf aslinya, ialah huruf Jawa, huruf pegon atau huruf Jawi, dengan disertai pengantar atau pendahuluan yang sangat singkat, tanpa analisis isinya, misalnya suntingan Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900), dan Syair Bidasarioleh Hoevell (1843).
Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk translasi dalam bentuk huruf Latin, misalnya Wrettasantjaja (1849), Ardjoena Wiwaha (1850), dan Bomakawya (1850).
Dalam perkembangan selanjutnya suntingan naskah sudah disertai dengan terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, misalnya Sang Hyang Kamahayanikan, Oud-Javaansche tekst met inleiding, vertaling en aanteekeningen oleh J. Kats (1910). Suntingan naskah pada abad ke-20 umumnya disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris atau Belanda, bahkan ada yang diterbitkan hanya terjemahannya, misalnya Sejarah Melayu oleh Leyden (1821).
Pada pertenganhan abad ke-20, suntingan naskah dengan kritik teks banyak dilakukan sehingga menghasilkan suntingan yang lebih mantap daripada suntingan sebelumnya. Terbitan jenis ini banyak disertai terjemahan dalam bahasa Inggris, Belanda, atau Jerman. Contoh naskah dalam perkembangan ini seperti Het Boek der Duizend Vragen oleh G.F. Pijper (1924) berdasarkan naskah Hikayat Seribu Masalah, Shair Ken Tambunan oleh Teeuw (1966), Hikayat Merong Mahawangsa oleh Siti Hawa Soleh (1970), Arjuna-wiwahaoleh S. Supomo (1977). Pada abad ini pula muncul terbitan ulangan dari naskah yang pernah disunting sebelumnya dengan maksud untuk menyempurnakan, misalnya terbitan sebuah Primbon Jawa dari abad ke-16. Pertama, dikerjakan oleh Gunning (1881) dengan metode diplomatik, kemudian pada tahun 1921 disunting lagi oleh H. Kraemer dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw, dan kemudian pada tahun 1954 diterbitkan lagi oleh C.W.J. Drewes dengan judul yang sama.
Selanjutnya banyak diterbitkan naskah keagamaan, baik naskah Melayu maupun naskah Jawa sehingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli teologi dan dapat menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Adapula yang mengkaji naskah-naskah sejarah oleh para ahli sejarah seperti suntingan yang dikerjakan oleh Teuku Iskandar berjudul De Hikajat Atjeh (1959) berdasarkan naskah Hikayat Aceh.
Pada periode mutakhir, mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu Barat, misalnya analisis struktur dan amanat terhadap naskah Hikayat Sri Rama dikerjakan oleh Achadiati Ikram berjudul Hikayat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980).
Dengan telah dikenalinya dan tersedianya suntingan sejumlah naskah-naskah Nusantara maka terbukalah kemungkinan menyusun sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah. Sehingga mendorong berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu, terutama disiplin humaniora dan disiplin ilmu-ilmu sosial. 

Tokoh-Tokoh Filologi Nusantara :
1.     Husein Djayadiningrat // Critische Beschouwing Wan De Sadjarah Banten (1913), berdasarkan naskah Babad Banten.
2.     R.M.Ng. Poerbatjaraka // Arjuna-Wiwaha (1926) .
3.     Teuku Iskandar // De Hikajat Atjeh (1959).
4.     Naguib Al-Attas // The Mysticism Of Hamzah Fansuri (1970), dari buku Hamzah Fansuri.
5.     Siti Soleh // Hikayat Merong Mahawangsa (1970).
6.     Haryati Soebadio // Jnānasiddhanta (1971).
7.     S. Soebardi // The Boek Of Cabolek (1975), berdasarkan naskah Serat Cabolek.
8.     S. Supomo // Arjuna-Wiwaha (1977).
9.     Edi Ekajati // Cerita Dipati Ukur (1978), dari naskah sejarah tradisional Sunda.
10.  Herman Sumantri // Sejarah Sukapura (1979), dari naskah sejarah tradisional Sunda.
11.  Sulastin Sutrisno // Hikayat Hang Tuah; Analisis Struktur Dan Fungsi (1979).
12.  Achadiati Ikram // Hikyat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat Dan Struktur (1980).
13.  Prof. R. Prijana.
14.  Nabilah Lubis // Syech Yusuf Al-Taj Al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia


Sumber:

Baried, Siti Baroroh. 1994.Pengantar Teori Filologi.Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas.